Rembulan dalam Cappuccino



Rembulan dalam Cappuccino

Dua hari setelah kekecewaan terhadap kekasihnya - kini telah menjadi bekas kekasihnya, perempuan itu memasuki sebuah kafe, dan memesan Rembulan dalam Cappuccino. Ia datang bersama senja, ia harus menunggu malam tiba untuk mendapatkan pesanannya.
Cappuccino, kopi tradisional Italia yang biasanya untuk sarapan - kopi espresso yang dibubuhi susu panas dan buih, sering juga ditaburi cokelat, dalam seduhan air hangat 80 derajat celsius, dan dihidangkan dengan cangkir. Cappuccino yang serupa lautan berwarna coklat itu kini disuguhkan dengan pingpong yang sebentar-sebentar terapung, sebentar tenggelam - tapi bukan bola pingpong, ini rembulan. Semua orang yang berada dalam kafe diam-diam melangkah keluar, menengok ke langit, ingin membuktikan dengan mata kepala sendiri apa yang terapung-apung dalam
cangkir perempuan itu sebenarnya. Dan rembulan di langit itu memang sudah tidak ada.
Mereka bergumam, tapi tidak menjadi gempar, bahkan pura-pura seperti tidak terpengaruh sama sekali. Mereka kembali duduk, berbincang dengan bahasa yang beradab, tapi diam-diam melirik, seperti kepalsuan yang telah biasa mereka peragakan selama ini. Para pelayan yang berbaju putih lengan panjang, mengenakan rompi, berdasi kupu-kupu yang rambutnya tersisir rapi diam-diam juga memperhatikan perempuan itu. Semenjak kafe itu berdiri sepuluh tahun lalu, baru kali ini ada yang memesan Rembulan dalam Cappuccino. Kafe itu memang menyediakannya, dan minuman itu hanya bisa dipesan satu kali, karena memang hanya ada satu rembulan di semesta ini.
Perempuan itu pernah berjanji dengan kekasihnya, akan memesan rembulan dalam cappuccino untuk dinikmati berdua. Hanya saja kekasihnya yang dulu itu kini mengecewakannya. Terlanjur sakit hati pada bekas kekasihnya, belum cukup terbalaskan dendamnya hanya dengan mengkhianati janji itu. Toh, itu hanya janji sedang jatuh cinta, tidak untuk ditepati, hanya agar terbuai dan terlena…
“Rembulan dalam Cappuccino, satu!” Teriak pelayan ke dapur, dan kepala bagian dapur memijit-mijit tombol hp, seolah-olah ada persiapan khusus. “Akhirnya tiba juga pesanan ini,” katanya, “aku sudah bosan melihatnya di daftar menu tanpa pernah ada yang pesan.” Kepala dapur itu bicara dengan entah siapa melalui hp. “Iyalah, turunin aja, sudah tidak ada lagi yang membutuhkan rembulan.”, sambung kepala bagian dapur dengan orang diseberang sana.
Perempuan itu bukan tidak tahu kalau orang-orang sedang memperhatikannya. Apakah ia akan memakan rembulan itu, menyendoknya sedikit demi sedikit seperti menyendok es krim, ataukah akan menelannya begitu saja seperti Dewa Waktu menelan matahari?
Ia memperhatikan rembulan yang terapung-apung di cangkirnya, permukaan cappuccino masih dipenuhi busa putih, seperti pemandangan Kutub Utara - tapi cappuccino itu panas, bagaikan masih mendidih. Ia senang dengan penampakan itu, dingin tapi panas, panas tapi dingin, segala sesuatu tidak selalu seperti tampaknya. Seperti bekas kekasihnya, tampak sangat mencintainya, padahal hanya berpura-pura mencintainya. Iba sekali perempuan itu, semalam kekasihnya menyatakan sayang dengan ekspresi penuh kasih, tapi kekasihnya, eh bekas kekasihnya itu sampai hati bermain di belakangnya… Memang, sesuatu tidak selalu seperti tampaknya.
***
Seminggu kemudian, seorang lelaki memasuki kafe itu, dan memesan minuman yang sama.
“Rembulan dalam Cappuccino,” katanya.
Para pelayan saling berpandangan.
“Oh, minuman itu sudah tidak lagi ada Tuan, seorang perempuan telah memesannya minggu lalu.”
Lelaki itu terpana.
“Apakah Tuan tidak memperhatikan, sudah tidak ada rembulan lagi dalam seminggu ini?”
Lelaki itu tersentak.
“Seorang perempuan? Kekasih saya? Eh, maaf, bekas kekasih saya?”
Para pelayan saling berpandangan. Salah seorang pelayan menjelaskan ciri-ciri perempuan yang telah memesan Rembulan dalam Cappuccino itu.
“Ah, pasti dia! Apakah dia memakan rembulan itu?”
Para pelayan saling berpandangan lagi.
“Tidak Tuan…”
“Jadi?”
“Kalau memang perempuan itu kekasih Tuan…”
“Bekas….”
“Maaf, bekas kekasih Tuan, mungkin Tuan masih bisa mendapatkan rembulan itu.”
“Maksudmu?”
“Dia tidak memakannya Tuan, dia minta rembulan itu dibungkus.”
“Dibungkus?”
“Ya Tuan, ia tidak menyentuhnya sama sekali, hanya memandanginya saja berjam-jam.”
Para pelayan di kafe itu teringat, betapa perempuan itu mengaduk-aduk Rembulan dalam Cappuccino, bahkan menyeruput cappuccino itu sedikit-sedikit, tapi tidak menyentuh rembulan itu sama sekali. Perempuan itu hanya memandanginya saja berlama-lama, sambil sesekali mengusap air mata.
Mereka ingat, perempuan itu masih di sana dengan air mata bercucuran, dan masih tetap di sana, kebetulan di tempat sekarang lelaki itu duduk, sampai tamu-tamu di kafe itu habis menjelang dini hari.
Kemudian dia meminta rembulan itu dibungkus. Ketika dibungkus, rembulan sebesar bola pingpong yang semula terapung-apung di dalam cangkir itu berubah menjadi sebesar bola basket.
Itulah sebabnya kepala dapur meminta agar pencoretan Rembulan dalam Cappuccino dari daftar menu ditunda.
“Rembulan itu belum hilang,” katanya, “siapa tahu perempuan itu mengembalikannya.”
Lelaki itu memandang pelayan yang berkisah dengan seru. Ia baru sadar semua orang memandang ke arahnya. Ketika ia menoleh, tamu-tamu lain itu segera berpura-pura tidak peduli, padahal penasaran sekali.
“Kalau dia muncul lagi, tolong katakan saya juga mau rembulan itu.”
“Ya Tuan.”
Lelaki itu melangkah pergi, tapi sempat berbalik sebentar.
“Dan tolong jangan panggil saya Tuan,” katanya, “seperti main drama saja.”
Padahal ia sangat menikmati perlakuan itu-seperti yang dilakukan bekas kekasihnnya sebelum mereka berpisah.
Tiada rembulan di langit. Tidak pernah terbayangkan akan terjadi betapa tiada lagi rembulan di langit malam. Namun di kota cahaya, siapakah yang masih peduli rembulan itu ada atau tidak?
“Yang masih peduli hanyalah orang- orang romantis,” kata perempuan itu kepada dirinya sendiri.
“Atau pura-pura romantis,” katanya lagi.
Dia berada di suatu tempat tanpa cahaya, kelam, begitu kelam, seperti ditenggelamkan malam, sehingga bintang-bintang yang bertaburan tampak jelas, terlalu jelas, seperti peta dengan nama-nama kota.
Langit malam tanpa rembulan. Ada yang terasa hilang memang. Tapi selebihnya baik-baik saja. Tentu kini hanya bisa dibayangkannya bagaimana rembulan itu seperti perahu yang membawa kelinci pada malam hari dan mendarat di Teluk Bayur. Namun, tidakkah manusia lebih banyak hidup dalam kepalanya daripada dalam dunia di luar batok kepalanya itu? Apabila dunia kiamat, dan tidak ada sesuatu lagi kecuali dirinya sendiri entah di mana, ia bahkan masih memiliki sebuah dunia di dalam kepalanya. Tanpa rembulan di langit ia bisa melihat rembulan seperti perahu membawa kelinci yang mendarat di Teluk Bayur
Rembulan itu berada di punggungnya sekarang, terbungkus dan tersimpan dalam ransel-apakah ia berikan saja kepada bekas kekasihnya, yang diketahuinya selalu bercita-cita memesan Rembulan dalam Cappuccino? “Tidak. Terlalu kecewa aku dibuatnya, Kalau mau kan banyak cappuccino instant di warung dekat rumahnya” (ia lebih tahu tempat itu daripada kekasihnya) dan meski rembulan di punggungnya sekarang sebesar bola basket, nanti kalau mau dimasukkan cangkir akan menyesuaikan diri menjadi sebesar bola pingpong. Dia dan bekas kekasihnya sebetulnya sama-sama tahu betul hukum rembulan itu, tapi itu cerita masa lalu- sekarang ia berada di sebuah jembatan dan sedang berpikir, apakah akan dibuangnya saja rembulan itu ke sungai, seperti membuang suatu masalah agar pergi menjauh selamanya dan tidak pernah kembali? Setiap orang mempunyai peluang bernasib malang, kenapa dirinya harus menjadi perkecualian? Ia seperti sedang mencurigai dirinya sendiri, jangan-jangan ia hanya mewajibkan dirinya berduka, karena selayaknyalah seorang istri yang diceraikan dengan semena-mena merasa terbuang, padahal perpisahan itu membuat peluangnya untuk bahagia terbuka seluas semesta…
***
Tiga minggu kemudian, pada hari hujan yang pertama musim ini, perempuan itu muncul lagi di kafe tersebut.
“Saya kembalikan rembulan ini, bisa diganti nasi padang?”
Itulah masalahnya.
“Tidak bisa Puan, kami tidak punya nasi padang, ini kan restoran Itali?


***

1,134 Kata

Comments

  1. http://taipannnewsss.blogspot.co.id/2018/04/hati-hati-dibutakan-cinta-ini-tandanya.html

    QQTAIPAN .ORG | QQTAIPAN .NET | TAIPANQQ .VEGAS
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan. ...
    See More
    Qqtaipan. Org | Qqtaipan. Net | Taipanqq. Vegas
    - you can't fight.
    Don't delay your playing victory! IMMEDIATELY REGISTER THE USER ID & play the good card.
    With minimum deposit only rp 20.000,-
    1 USER ID CAN PLAY 8 games.
    • BandarQ
    • AduQ
    • Capsa
    • Domino99
    • Poker
    • Bandarpoker
    • Heel
    • Bandar66
    We'll also make it easier for you to create an id with registration for free.
    For The Depot & withdraw process is handled by
    Our customers are professional and friendly.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    You can also play it via Android / Iphone / Ipad
    For more information please contact cs we-Online 24 hours!!
    • of: + 62 813 8217 0873
    • BB : D60E4A61
    • BB : 2B3D83BE
    Come & Join Us!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Lirik Lagu "Odoru Pompokorin" (Maruko Chan)

Analisis Puisi