Layar Kaca Indonesia

Beberapa waktu silam saya mengikuti timeline twitter kemendikbud tentang produksi perfilman Indonesia, disebutkan bahwa sebagai warga negara Indonesia semestinya kita menonton film Indonesia. Kita akui, dengan kondisi perfilman seperti sekarang (re: tidak banyak yang mendidik), memang masih ada beberapa film yang menginspirasi. Namun demikian, film menginspirasi tersebut tidak ditayangkan di televisi. Sebaliknya, sinetron dengan ribuan episode dan miskin pesan moral yang lebih mendapat tempat di layar kaca. Ironisnya, dubbed Bollywood  pun lebih menguasai layar kaca masyarakat.
Kapan majunya negara kita jika seperti ini?

Berkaca pada negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, dan negara G20 lainnya, sebelum beraktivitas sehari-hari, setiap layar kaca mereka menayangkan prakiraan cuaca per regional secara detail. Sehingga warga mereka dapat mengantisipasi cuaca dan membuat planning lebih akurat. Berbeda dengan layar kaca Indonesia yang hanya beberapa menayangkan prakiraan cuaca, dan itu pun hanya delapan kota besar di Indonsia. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak dapat beraktivitas sebagaimana yang mereka rencanakan.

Selain itu, fakta bahwa kecenderungan menayangkan sinetron dengan cerita tak berujung juga memperburuk  kondisi layar kaca Indonesia. Layar kaca disaksikan oleh semua umur, akan tetapi tayangannya tidak untuk konsumsi semua umur. Akan lebih baik bila Indonesia memperhatikan jadwal penayangan sinetron-sinetron tersebut dengan mempertimbangkan penontonnya. Misal, anak-anak dibawah umur cenderung menonton tv sekitar pukul 6 hingga pukul 9 malam, nah sebaiknya pada jam tersebut ditayangkan siaran yang mendidik. Dan tentunya pengawasan orang tua berperan besar dalam hal ini.

Secara pribadi, menurut saya cerita sinetron di Indonesia tidak ada yang menarik. Semuanya hanyalah pembodohan belaka. Tujuh Manusia Harimau misalnya, di bagian mana film tersebut yang menambah pengetahuan? Tapi entah mengapa masyarakat menyenangi hal tersebut, jawabannya karena tidak ada tontonan lain.

Di sini saya berkesimpulan, ketika saya dan teman-teman saya menonton drama korea, mandarin, jepang, box office dan lain sebagainya itu lebih baik daripada saya memperhatikan sinetron pembodohan itu.
Sadarkah kita, penikmat sinetron Indonesia adalah katak dalam tempurung? Bagaimana tidak, bayangkan, mereka masih betah dengan tayangan berembel-embel "nyata" sedangkan semuanya rekayasa dan rekayasa itu tertangkap kamera? Saya tidak habis pikir.

Pernah tidak, kamu memikirkan bagaimana di luar sana mereka dapat menulis cerita yang menarik dan produksi filmnya pun tidak terkesan "pembodohan"? Banya contohnya bila kamu juga penikmat film mereka. Mengapa di Indonesia tidak ada skenario yang menarik. Apa yang salah dengan negara kita?
Jadi wajar saja saya belum mendukung perfilman Indonesia seperti permintaan kemendikbud.

Nah, sekarang, siapapun yang membaca ini, berniatlah untuk mengubah haluan perfilman Indonesia. Setidaknya untuk menghilangkan kesan "pembodohan" dan memunculkan pengetahuan. Setidaknya, pengetahuan yang ditayangkan dalam film dapat membuat seorang anak  mengerjakan dengan benar 50% ujian mereka tanpa belajar. Pasti akan hebat negara kita bila begini.
Ingat, kita terlalu kuno bila dibandingkan dengan Jepang. Kita merasa sudah cukup maju dengan pertanian mengandalkan cangkul, padahal cangkul adalah alat bertani Jepang 7 abad lalu. Miriiiiiis



Comments

Popular posts from this blog

Lirik Lagu "Odoru Pompokorin" (Maruko Chan)

Rembulan dalam Cappuccino

Analisis Puisi